Sabtu, 15 Maret 2014

EFEKTIVITAS MEDIA CETAK DI ERA DIGITAL

Media cetak adalah sarana media massa yang dicetak dan diterbitkan secara berkala.[1] Ada beberapa macam media cetak, antara lain; koran atau surat kabar, majalah, dan tabloid, yang kesemuanya mempunyai berbagai macam nama tergantung dari penerbitnya. Di Indonesia saja terdapat banyak nama media cetak, ada Koran Kompas,  Koran Republika, Majalah Tempo, Majalah Panji Masyarakat, Tabloid Nova dan masih banyak lagi, baik media nasional maupun daerah.


Media cetak merupakan salah satu media komunikasi massa. Melalui media cetak komunikator menyampaikan pesan atau informasi kepada komunikan melalui bentuk ragam tulisan dan gambar yang dicetak di atas kertas. Komunikan dapat menerima pesan dari komunikator melalui apa yang disajikan media cetak dengan membacanya.


 Perkembangan peradaban manusia membawa dampak berbagai perubahan. Hal itu juga terjadi pada perubahan komunikasi untuk menyapaikan informasi, pesan, gagasan atau pemikiran. Media massa pun mengalami perkembangan. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi media yang digunakan menjadi beragam. Dengan media elektronik, bahkan di era digital sekarang ini dengan media internet, manusia bisa mendapatkan berbagai informasi dari seluruh penjuru dunia secara cepat dan mudah.

Teknologi komunikasi yang berkembang membawa dampak perubahan pada gaya hidup. Manusia bisa mengakses segala informasi dengan bebas tanpa dibatasi ruang dan waktu. Kita bisa lihat bagaimana orang dengan gadgetnya berasyik-ria, baik ia mencari informasi maupun berhubungan dengan yang lainnya melaui media sosial face book, twiter maupun yang lainnya.

Bagimana dengan media cetak? Apakah di era digital ini masih efektif untuk digunakan sebagai sarana komunikasi massa untuk menyampaikan berbagai informasi kepada masyarakat? Atau malah tersingkirkan, bahkan hilang dari publik?

Media Cetak di Era Digital
Menurut Sean MacBride, dkk.[2] komunikasi memelihara dan menggerakan kehidupan. Komunikasi merupakan gabungan ilmu pengetahuan, organisasi dan kekuasaan yang berupa benang bermula dari ingatan manusia yang terawal sampai kepada aspirasi yang termulia dalam usaha terus menerus menuju kehidupan yang lebih baik. [3]

Manusia awalnya berkomunikasi hanya menggunakan isyarat atau kode, namun dengan berkembangnya peradaban, manusia bisa berkomunkasi menggunakan lisan dan tulisan. Bahkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, komunikasi dapat dengan mudah tersampaikan dari satu tempat ke tempat lainnya. Dengan kemajuan teknologi informasi salahsatunya melahirkan komunikasi massa.

Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi), berbiaya relatif mahal, yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar dibanyak tempat, anonim dan heterogen. Pesan-pesannya bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak, dan selintas (khususnya media elektronik).[4]

Media massa turut mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam dunia komunikasi. Ada media cetak, media radio, televisi, bahkan pada era teknologi informasi sekarang, lahir lagi media internet sebagai sarana komunikasi. Media massa membuat komunikasi untuk menyampaikan informasi semakin cepat.

Sebelum media massa yang berhubung kait dengan audio-visual atau media elektronik maupun media internet, selain menggunakan bahasa atau lisan manusia lebih dulu mengenal media yang berhubung kait dengan tulis-menulis. Kemudian setelah ditemukannya mesin cetak lahirlah media massa cetak/media cetak yang sebagian penyampaian informasinya melalui tulisan. Jadi media cetak bisa dikatakan sebagai media massa pertama, baru kemudian lahir media elektronik.

Sebagai media massa pertama, media cetak yang merupakan salahsatu alat komonukasi massa telah memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam penyampaian informasi. Namun di era digitalisasi saat ini media cetak dianggap tersisihkan dengan kehadiran media baru yaitu internet. Karena dengan media iternet dianggap lebih mudah dan praktis dalam mendapatkan informasi dibandingkan media cetak.

 Beberapa suratkabar diberitakan bahwa adanya penurunan jumlah oplah dalam pendistribusiannya. Bahkan belakangan banyak suratkabar yang membuat surat kabanya dengan versi web. Tentu ini menambah daftar kecenderungan media cetak yang ditinggalkan.

Barangkali mengetahui kemerosotan sirkulasi media cetak ditambah meluasnya digitalisasi di bidang komunikasi dan informasi, pada tahun 1990, Bill Gates[5] meramalkan “surat kabar akan mati” dalam waktu 10 tahun setelah dia menyatakan ramalannya itu. Ternyata ramalan pendiri microsoft itu meleset. Dalam pernyataan susulan, Gates menyampaikan prediksi baru, mungkin sampai 50 tahun kedepan masih ada orang yang mencetak koran, namun berkeras suatu saat di masa depan tidak ada lagi buku, majalah dan surat kabar. Semua itu akan tampil secara digital melalui sebuah alat berbentuk tablet.[6]

Ramalan Gates belumlah terbukti. Setidaknya saat ini masih banyak suratkabar atau media cetak lainnya yang masih terbit. Namun melihat fenomena yang terjadi di masyarakat dimana orang-orang berasyik-ria dalam mengakses informasi dengan mudah menggunakan  telpon pintarnya, mungkin akan cenderung membenarkan pendapat Gates tersebut.

Namun Tribuana Said menulis[7] bahwa para jurnalis kawakan akan mengatakan bahwa jurnalis surat kabar bukanlah jurnalis internet. Gates berfikir dan berbicara sebagai ahli teknologi, bukan sebagai jurnalis. Disamping itu, teori lama (yang digulirkan Wolfgang Riepl, pemimpin Redaksi Nuernberger Zeitung, tahun 1913), bahwa media baru bukan pengganti atau substitusi media lama, melainkan tambahan atau kumulatif, belum terpatahkan.[8]

Selain pendapat berdasarkan teori diatas, alasan lain yang menyangkal teori Gates adalah karena media online dianggap belum dapat memberitakan secara akurat. Susunan bahasa, tanda baca dan fakta berita yang sebenarnya terabaikan. Hal itu karena media online lebih mengedepankan kecepatan dibanding ketepatan seperti apa yang diungkapkan Fredy Wansyah[9] dalam salah satu harian nasional.

Didalam pemberitaan media online, kecepatan seakan menjadi tuhan. Sama halnya seperti media elektronik. Wartawan harus mengutamakan kecepatan diatas segalanya. Kecepatan menjadi daya jual dan daya tarik dibanding media ragam lainnya sehingga wartawannya diminta bekerja mengutamakan kecepatan. Begitu peristiwa berlangsung semenit yang lalu, berita harus segera termuat di media online. Seakan realtime. Keunggulan media online mainsteam saat ini tersohor dengan gaya kecepatanya menyajikan berita.

Mengkombinasikan kecepatan dan ketepatan itu sulit. Seumpama naik kendaraan di jalan raya, kecepatan sangat berpotensi mengabaikan rambu-rambu lalu-lintas. Potensi kecelakaan itu tinggi. Rambu-rambu itu analog dari bahasa dan etika jurnalisme. Disanalah bahasa menjadi abai kala kecepatan harus diutamakan sehingga ketepatan bahasa dan instrumen bahasanya terabaikan.[10]  
Apa yang ditulis Tribuana Said dan pendapat Fredy Wansyah adalah ditinjau dari sisi seorang praktisi jurnalis yang tentunya mempunyai pandangan yang berbeda dengan yang lain. Karena mereka para ahli jurnalis tentunya punya kiat-kiat tertentu agar apa yang mereka dalami dan geluti tidak tersingkir oleh pendatang baru.

Kesimpulan
Fenomena di masyarakat dan pendapat yang mengatakan bahwa suarat kabar atau media cetak akan menghilang di tengah era globalisasi nampaknya sedikit terpatahkan. Setidaknya sanggahan tersebut disampaikan oleh tokoh-tokoh jurnalis yang tahu perkembangan jurnalistik dan media cetak karena mereka terlibat didalamnya.

Di tengah masyarakat ada yang beranggapan membaca media online kurang bisa konsentrasi dalam memahaminya. Berbeda ketika membaca majalah atau surat kabar, mereka bisa santai dan konsentrasi.

Selain itu, selama bertahun-tahun dari awal kemunculannya sampai saat ini media cetak masih tetap ada. Hal itu tentu membuktikan bahwa media cetak masih efektif sebagai media komunikasi massa ditengah era digital seperti saat ini. Apalagi banyak kalangan yang masih memanfaatkan keberadaan media cetak untuk sosialisasi dirinya seperti saat-saat kampanye.

Namun waktu juga yang akan membuktikan benar atau tidaknya apa yang diramalkan Gates. Dan tergantung bagaimana juga kiprah para ahli jurnalis, terutama jurnalis cetak  untuk menepis ramalan Gates tersebut.



[1] Hasan Alwi, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, hal 726
[2] Anggota Komisi Internasional Untuk Studi Masalah Komunikasi, UNESCO
[3] Sean MacBride, dkk. 1983. Aneka Suara Satu Dunia, Terjemahan dari Many Voices One World, Cetakan Pertama. Jakarta: Balai Pustaka-Unesco, hal 25
[4] Deddy Mulyana. 2009. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Cetakan Ketigabelas. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, hal 83
[5] Pendiri microsoft
[6] Tribuana Said, penyunting Lukas Luwarso. 2006. Membangun Kapasitas Media. Jakarta: Dewan Pers, hal 3
[7] Makalah untuk pelatihan para jurnalis pada Lembaga Pelatihan Dr. Soetomo
[8] Tribuana Said, penyunting Lukas Luwarso. 2006. Membangun Kapasitas Media. Jakarta: Dewan Pers, hal 4
[9] Mantan Editor Online dan Penggiat Indonesia Media Wach
[10] Fredy Wansyah. 2013. Memilih Media, dalam Koran Kompas Nomor 073, 12 september 2013


Daftar Pustaka
Alwi, Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai
Pustaka.
Luwarso, Lukas. 2006. Membangun Kapasitas Media. Jakarta: Dewan Pers.
MacBride, Sean, dkk. 1983. Aneka Suara Satu Dunia. Jakarta: Balai Pustaka-Unesco.
Mulyana, Deddy. 2009. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya.
Wansyah, Fredy. 2013. Memilih media, dalam Koran Kompas. Jakarta: PT. Kompas
            Media Nusantara.


Penulis: Rasna S Putra