Kamis, 10 Maret 2016

Kisah Pilu Dibalik Keindahan Cadas Pangeran




Lamun tumpak kendaraan antara Bandung – Sumedang. Urang bakal ngaliwatan jalan nu mantak hariwang. Kawuwuh unggal pengkolan, mipir lamping mapay jurang. Mantak muringis nenjona, baluwas ningal leuwangna.

Penggalan syair dalam bahasa sunda ini menggambarkan sebuah jalan yang menghubungkan Kota Bandung dan Sumedang. Jalan yang mengerikan. Penuh dengan lika-liku, kelokan, kalau tidak berhati-hati akan fatal akibatnya. Lebih parahnya lagi jalur tersebut berada di tebing yang curam, membuat bulu kuduk merinding ketika melewati, apalagi melihat kebawah, hih seram!
Cadas Pengeran! Begitu nama jalan tersebut, sekaligus judul lagu syair diatas. Jalan ini sering kali penulis lewati. Siga jalan ka cai (bagaikan jalan ke air/sumur), begitu orang sunda mengistilahkan karena seringnya melewati jalur tersebut. Perjalanan dari Indramayu, tempat penulis mengabdi di pesantren modern Al-Zaytun menuju Cicalengka, Bandung, tempat “bidadari-bidadari surga” tinggal, selalu melewati jalur Cadas Pangeran. Topografi Cadas Pangeran pun sudah tidak asing lagi.

Cadas Pangeran merupakan jalur utama Bandung – Sumedang. Cadas Pangeran juga sering dijadikan jalur alternatif antara Malangbong Garut – Bandung, jika jalur Nagreg sedang macet. Jalur ini sangat vital dan tentunya jalur yang ramai. Jika Cadas Pangeran macet – karena longsor, dll – maka kemacetan akan mengular. Bisa berjam-jam sampai ke tempat tujuan.

Konon Cadas Pangeran merupakan saksi bisu atas penderitaan dan perjuangan rakyat Sumedang. Dari beberapa sumber yang penulis baca, Cadas Pangeran dibangun atas prakarsa Gubernur Belanda, Jenderal Herman Willem Daendles, tahun 1809. Para pekerjanya adalah rakyat Sumedang. Mereka dipaksa bekerja (kerja rodi) dibawah ancaman tentara Belanda. Karena lokasinya yang terjal, tak jarang para pekerja yang jatuh dan meninggal dunia.

Mendengar rakyat Sumedang yang bekerja dilokasi proyek Cadas Pangeran banyak yang menderita, Pangeran Kusumadinata IX (Pangeran Kornel), yang merupakan penguasa Kabupaten Sumedang mendatangi Daendels yang sedang memantau pembangunan. Ia memprotes tindakan Daendles yang semena-mena. Atas protes tersebut, Daendles berjanji akan menjadikan rakyat Sumedang sebagai pekerja cadangan saja, sedangkan pekerjaan utamanya adalah tentara Belanda.



Janji Daendles hanya manis dibibir belaka. Akal culas dan liciknya bermain lain di rongga kepalanya. Dengan membawa pasukan bersenjata, yang tergolong hebat saat itu, ia menyerbu Pangeran Kornel dan pengikutnya. Pertempuran pun terjadi. Karena kalah persenjataan, rakyat Sumedang banyak yang terbunuh. Bahkan Pangeran Kornel gugur dalam membela dan mempertahankan kehormatan rakyat dan bangsanya.

Kisah pilu tersebut dituangkan oleh musisi dalam tembang sunda, “Cadas Pangeran” sebgai lanjutan syair diatas. Cadas Pangeran, baheula hujan cimata.Didie pisan korban jeung kateuleungeusan. Cameuti geutih ngaheumbat lara balangsak. Ranggeyan raga iraha arek pungkasna. Baheula didie pisan Pangeran ordel katandang, ngabela rebuan jiwa, sajarah geusan saksina. (Cadas Pangeran, dulu hujan air mata. Disinilah korban kekejaman. Darah penderitaan berceceran. Banyak jiwa yang berguguran. Disinilah dulu Sang Pangeran maju kemedan tempur membela ribuan jiwa, sejarahlah yang menjadi saksi).

Pengorbanan air mata, darah, dan jiwa rakyat Sumedang tentu tak sia-sia. Kini pengguna Cadas Pangeran dapat menikmati hasil pengorbanan mereka. Tidak ada lagi kisah pilu ketika melewatinya. Apalagi sambil duduk di kursi empuk mobil mewah kesayangan. Hmm, enjoy!

Suasana ngeri, getir dan seram ketika melawati, seperti gambaran lagu sunda diatas, tidak terasa. Yang ada justru suasana iklim yang nyaman dan sejuk. Kelokan, tebing, lembah dan panorama perbukitan yang hijau menghadirkan estetika seni yang indah. Nyaman dipandang mata, mak nyes untuk dirasa. Bahkan, kalau tidak diburu kesibukan ingin rasanya para pengguna jalan Cadas pangeran meluangkan waktu sejenak untuk menikmatinya. Tak lupa untuk mengabadikan tentunya. Klik, klik, klik!

Penulis: Rasna S Putra